Parade Gizi Buruk Sintang

Kemiskinan dan Ketidaktahuan Picu Kekurangan Gizi Anak

KECERIAAN itu terlihat jelas di wajah polos Federius yang sudah mulai berangsur pulih dari kasus gizi buruk yang dialaminya. Ia lahap menyantap sajian menu perbaikan gizi yang disajikan petugas di Pusat Penatalaksanaan Gizi Buruk (PPGB) Kabupaten Sintang.
Bungsu dari enam bersaudara yang baru berusia 22 bulan itu dirawat di PPGB sejak 5 Februari 2011.
Warga Desa Tanjung Sari Kecamatan Ketungau Tengah ini adalah pasien ke lima sepanjang 2011. Ia didiagnosa mengalami gizi buruk berat atau stadium empat karena dengan usia setahun sepuluh bulan, berat badan pertama kali ketika dibawa di PPGB hanya 6,8 kilogram, padahal seusianya mestinya berat badannya sudah 10,3 kilogram.
Perawatan yang intensif hingga kemarin membuat berat badannya meningkat sekitar 83 persen dari berat badan ideal atau 8,6 kilogram.
Koordinator PPGB, Adi Sulistyanto menilai kasus yang dialami Federius itu cukup unik karena pada 2009 lalu, abang Federius juga dirawat di PPGB dalam kasus yang sama.
“Ketika masuk PPGB, kondisi abangnya sudah parah, matanya nyaris buta dan pada saat dirawat, ibunya tengah mengandung Federius,” kata Adi.
Pengalaman pertama membuat sang ibu, Magdalena Rikut (35) cepat tanggap begitu tahu putra bungsunya mengalami gizi buruk. Iapun dengan kesadaran sendiri langsung membawa anaknya ke PPGB untuk dirawat.
“Kami hidup serba kekurangan karena menoreh karet dengan penghasilan 3 kilogram sehari,” ujar Magdalena lirih.
Menurutnya, dari hasil menoreh karet tersebut, semua kebutuhan hidup disandarkan dari keperluan pangan hingga ongkos sekolah anak, selebihnya diperoleh dari hasil tanaman pekarangan.
“Tidak ada pekerjaan lain, apalagi sekarang harga karet mulai turun,” kata dia.
Pasien lainnya yang dirawat, Andi selain didiagnosa mengalami gizi buruk stadium empat dan mulai dirawat sejak 9 Februari lalu, putra kedua dari ibu Santi (20) ini juga menderita Tuberculosis.
Mirisnya, abang Andi ternyata sudah meninggal dunia karena penyakit yang berkaitan dengan fungsi paru-paru dan sedang diberantas dengan gencar oleh instansi kesehatan.
“Bapaknya sakit, kebun kami sebagian sudah dijual untuk anak berobat, kami hanya kerja menoreh karet dari kebun sisa yang tidak di jual,” ujar Santi.
Balita berusia setahun enam bulan asal Desa Panding Jaya Kecamatan Ketungau Tengah itu dibawa dengan berat badan 6 kilogram. Dengan berat badan ideal seusianya adalah 10,3 kilogram, perawatan terhadap Andi juga mengalami kemajuan, berat badanya bertambah menjadi 6,6 kilogram.
Berikutnya ada Bona, warga Desa Pelimping Kecamatan Kelam Permai ini baru berusia tujuh bulan dan mulai dirawat sejak 16 Februari silam. Pasien ini masuk gizi buruk stadium dua dengan berat badan awal ketika dirawat adalah 4,7 kilogram. Idealnya, seusia Bona sudah harus memiliki berat badan 6,5 kilogram, perawatan intensif hingga kemarin membuat berat badannya sudah mencapai 5 kilogram.
“Anak saya lahir beratnya hanya dua kilogram, setelah lepas asi selama tiga bulan, dia memang sudah makan,” kata Diana (31), ibu Bona.
Menurutnya, sejak lahir pertambahan berat badan anaknya memang tidak terlalu mengembirakan sebagaimana balita lainnya. Bahkan terakhir sebelum dirawat, berat badannya susut sehingga akhirnya oleh pihak puskesmas disarankan untuk dirawat.
“Kami diantar orang puskesmas biar bisa dapat perawatan,” ucapnya.
Sehari-hari, keluarga Bona bekerja menoreh karet, hasilnya memang cukup untuk kebutuhan keluarga, termasuk membiayai abang Bona yang sudah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.
“Kami sudah berusaha, tak hanya membelikan susu, tetapi makanan tambahan juga sudah dicoba, tetap saja anak saya sulit makan hingga akhirnya disarankan dirawat,” kata dia.
Menurut Adi Sulistyanto, dua dari tiga pasien yang dirawat tersebut memang punya riwayat TBC di dalam keluarganya.
“TBC ini cukup mengganggu pertumbuhan balita sehingga harus ada perawatan intensif, termasuk terapi penyembuhan TBC tersebut,” kata dia.
Menurutnya, pasien Andi dan Bona sebelumnya sempat dirawat di RSUD untuk penyembuhan TBC, selanjutnya mereka dibawa ke PPGB untuk perawatan lebih lanjut.
“Terapi TBC nya kita teruskan sambil menanggulangi gizi buruknya, kita terapi total sesuai standar badan kesehatan dunia,” kata dia,
Ia melihat masalah gizi buruk ini erat kaitannya dengan kemiskinan dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah yang berdampak dengan kekurangan gizi pada anak.
“Ada banyak faktor yang memicu timbulnya gizi buruk dan setiap faktor itu ada saling keterkaitan, misalnya soal infrastruktur, rendahnya pendidikan yang berdampak pada minimnya pengetahuan, akhirnya adalah masalah ekonomi keluarga,” kata dia.
Selain itu, ia melihat banyak pasien yang dirawat tersebut ternyata peran ibunya cukup besar karena selain mengurus wilayah domestik, ternyata mereka juga ikut bekerja mencari nafkah.
“Sehingga tidak jarang ada yang minta pulang paksa sebelum anaknya bena-benar pulih dari gizi buruk karena peran ibunya sangat dominan dalam hal mencari nafkah, akhirnya pasien yang kita harapkan sembuh, begitu di cek di kampunya ternyata sudah meninggal karena perawatannya tidak selesai,” ujarnya.

Cenderung Menyembunyikan
Adi mengaku sedikit kesulitan untuk melacak penderita gizi buruk di daerah perkotaan karena ternyata ada kecenderugan untuk menyembunyikan penderita dan keengganan ketika hendak dirawat.
”Terlepas persoalan malu dengan anggota masyarakat lainnya, pasien yang mengalami gizi buruk ini sangat membutuhkan perawatan intensif,” ucapnya.
Kecenderungan menyembunyikan inilah menurut Adi bisa berakibat fatal pada penderita karena berdampak pada kematian.
“Tahun ini sudah ada penderita yang terdeteksi di dalam kota Sintang dan penderitanya sudah meninggal, padahal mereka tinggal di dalam kota, hanya beberapa menit saja sampai ke PPGB ini,” ungkapnya.
Ia mengatakan asumsi yang digunakan untuk perawatan penderita gizi buruk di Sintang ini diambil angka 10 persen dari total temuan kasus tiap tahunnya.
“Selama delapan tahun terakhir asumsi itu kami gunakan dan tidak jauh meleset, misalnya temuan kasus ada 350 orang, yang mau dirawat bisanya pada kisaran angka 35 orang,” kata dia.
Tiga tahun terakhir, kata Adi, angka balita gizi kurang memang mengalami penurunan, namun angka kasus gizi buruk bertambah. Penanganan khusus diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas gizi penderita.
“Meningkatnya angka kasus gizi buruk ini bukan karena program yang gagal, tetapi lebih kepada kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan kerja dari petugas di puskesmas untuk menginventarisasi kasus gizi buruk di kabupaten ini,” ucapnya.
Jumlab balita di Sintang hingga tahun 2010 mencapai 11.558 dengan rincian laki-laki 5721 dan perempuan 5837 balita. Angka gizi buruk di Sintang tahun 2010 diketahui ada 310 kasus atau 2,6 persen dari total balita dengan jumlah penderita laki-laki 158 dan perempuan 152.
Selain itu, untuk balita yang mengalami gizi kurang semuanya berjumlah 2401 atau 20.77 persen darijumlah balita, dengan rincian laki-laki 1174 dan perempuan 1227 orang.
Kasus gizi buruk yang terungkap pada 2008 mencapai 313 dan meningkat menjadi 434 kasus pada 2009.
“Yang mendapatkan perawatan di PPGB pada 2008 ada 25 kasus dan meningkat menjadi 35 kasus pada 2009 dan menurun menjadi 27 kasus pada tahun 2010.
“Dari data itu, petugas kesehatan kita sudah cukup baik melacak kasus gizi buruk sehingga banyak yang terungkap dan dirawat,” kata dia.
Ada persoalan lain yang cukup merisaukan yaitu penanganan penderita paska perawatan di PPGB, anggaran yang minim sehingga pihak PPGB hanya bisa membekali penderita dengan persediaan makanan tambahan untuk satu bulan.
“Kalau soal kemiskinan masih mendera, tentu kasus gizi buruk itu bisa terulang kembali. Pernah satu pasien yang sama kami rawat tiga kali, tahun 2002, masuk lagi pada 2007 dan ketiga pada 2009,” jelasnya.
Namun upaya menimal yang bisa dilakukan menurutnya adalah dengan memberikan konseling kepada ibu penderita, jadi PPGB tidak hanya berperan untuk merawat dan mengoobati saja.
“Kami lakukan upaya promosi kesehatan agar kasus yang sama pada anaknya tidak terulang, ibu pasien kami berikan masukan berbagai hal agar gizi anaknya bisa dijaga, tentunya disesuaikan dengan kondisi mereka,” ujarnya. (*)

Comments