Kerajinan
Tenun Ikat Desa Umin Jaya
DESA Umin Jaya
Kecamatan Dedai bisa masuk kategori desa penjaga budaya di Kabupaten Sintang,
warganya adalah pelestari kerajinan Tenun Ikat yang punya nilai budaya,
istiadat dan lingkungan yang tinggi mengakar pada tradisi nenek moyang zaman dahulu. Sejak
mulai dikembangkan kembali tiga dekade lalu, hasil kerajinan masyarakat kini sudah
melanglangbuana sampai ke mancanegara.
HERI MUSTARI, UMIN JAYA
AKHIR bulan lalu saya berkesempatan berkunjung ke desa
yang mayoritas masyarakatnya petani tersebut. Mencapai Desa Umin Jaya memang
membutuhkan tenaga ekstra karena jalan yang harus dilalui sebagian besar adalah
jalan tanah yang berdebu bila panas dan becek jika musim hujan.
Dengan jarak hanya 45 kilometer dari Kota Sintang,
perjalanan menggunakan mobil bergardan ganda harus ditempuh selama dua jam
karena kondisi jalan saat itu cukup parah. Padahal untuk standar jalan
beraspal, jarak sejauh itu paling lama hanya memerlukan waktu setengah jam.
Curah hujan yang cukup tinggi di Kabupaten Sintang belakangan membuat jalan
rusak semakin parah rusaknya, dibanyak tempat yang jalannya berlubang sudah digenangi
air.
“Yang dilalui tadi rute baru lewat jalan kebun sawit,
lebih dekat jaraknya, kalau lewat jalan lama jaraknya sekitar 65 kilometer dan
kondisi jalannya lebih parah,” ujar Edis Manalang, Kepala Desa Umin Jaya.
Sampai di perkampungan, suasana asri cukup terasa,
sekeliling rumah warga cukup banyak tumbuh aneka pohon buah-buahan, bahkan
ketika tiba di rumah Pak Kades, kami disuguhi buah rambutan yang memang sejak
masuk kampung sudah terlihat buah yang sedang matang dan ranum memerah di
sejumlah pohon dekat rumah warga.
“Kebetulan bibit rambutannya beberapa tahun lalu dibagikan
perusahaan dan banyak yang ditanam warga dekat rumah, sudah sering berbuah,”
jelas Evipiana Ratnadewi, istri Edis
Manalang sembari mempersilakan kami menyantap buah yang sudah disajikan
dirumahnya.
Di rumah itu
juga sudah ada ibu Salumina Mapung dan Anastasia Astuti, keduanya merupakan
penenun aktif di Desa Umin Jaya. Pembicaraan pun terus mengalir hingga pada
upaya mereka dan banyak perempuan lainnya di desa itu untuk mempertahankan
budaya menenun yang ternyata mendatangkan banyak manfaat, selain mempertahankan
dan melestarikan budaya, juga bisa menghasilkan laba yang bisa membantu suami
untuk memenuhi keuangan rumah tangga.
Salumina
Mapung, penenun aktif yang sudah puluhan tahun menggeluti tenun ikat khas
Kabupaten Sintang ini banyak bercerita tentang pengalaman mengeluti kerajinan
tangan ini.
Dia
mengatakan cerita turun temurun yang mereka dapat dari orang tua bahwa awal
mula tenun ikat ini berasal dari nenek moyang mereka yang bernama Puntang
Medang. Secara singkat dia mengatakan ketika itu Puntang Medang bertemu dengan
Buah Kana atau Beday yang jujur serta awet muda dan bijak, selalu bisa
menyelesaikan setiap masalah.
Setelah
bertemu keduanya lalu pergi ke Batu Nantai dan sepulang dari Batu Nantai,
Puntang Medang memberikan selembar kain tenun ikat kepada Beday dengan pesan
kain itu bisa dipakai untuk acara tutup tahun, pertanian, memandikan bayi dan
kegiatan adat lainnya. “Cerita ini terus diingatkan orang tua kami
dengan harapan agar kami bisa melestarikannya dan kami selalu ingat pesan itu,” ujarnya.
Salah
satunya kata dia ketika mulai masa tanam padi, kain diuntai atau digantung di
ladang dengan harapan agar pertumbunan padi bagus dan hasil panen juga bagus.
Di Desa
Umin Jaya, tanaman kapas jenis lokal tumbuh cukup subur, dahulu kata dia warga
menanam kapas dan kemudian dipintal untuk dijadikan benang baru setelah itu
dicelup dan ditenun. Bahkan saya berkesempatan untuk melihat tanaman kapas
berperawakan perdu yang tumbuh subur disalah satu rumah warga.
Sebelum
tahun 80 an, aktivitas menenun mulai kurang dilakukan warga meskipun masih ada
beberapa yang melakoninya, termasuk Salumina Mapung. Tanaman kapas juga sudah
tidak banyak lagi sehingga kebutuhan benang juga menjadi sulit.
Aktivitas
menenun warga mulai menggeliat ketika pada 1982 Salumina dipanggil istri Bupati
yang tertarik dengan tenun ikat mereka. Dia kemudian turun ke Sintang dan
diminta bermalam agar istri bupati bisa mendengar cerita lebih banyak mengenai
tenun ikat yang merupakan tradisi warisan nenek moyang warga Desa Umin Jaya.
Dari pertemuan itu diketahui bahwa salah satu kendala warga adalah benang untuk
menenun
Karena
tertarik untuk membantu mengembangkan tenun ikat yang sudah hampir kurang
diminati itu, akhirnya istri bupati membantu dua karung benang untuk dibagikan
kepada warga yang mau menenun. “Waktu itu yang pandai menenun sudah mulai
berkurang,” kata Salumina.
Sudah
mulai ada perhatian dari pemerintah, Salumina dan beberapa orang yang masih
tahu cara menenun pun kembali bersemangat. Bantuan awal itu mereka gunakan
sebaik mungkin untuk mengajarkan kepada anak gadis maupun ibu-ibu yang ada di
Desa Umin Jaya untuk menenun.
Pada
periode awal kebangkitan tenun ikat itu juga tidak terlepas dari peran pendiri
Yayasan Kobus Sintang , Pastor Jacques Maessen yang sampai sekarang masih terus
aktif membina, mempromosikan hingga menyenggarakan festival untuk para penenun.
Kerja
keras itu sekarang sudah membuahkan hasil, hampir semua perempuan di desa itu
bisa menenun dan waktu luang mereka sekarang sudah benar-benar dimanfaatkan
untuk menenun. Tercatat lebih dari 147 perempuan yang sampai sekarang terus aktif
memproduksi kain tenun ikat yang kini sudah dikenal sampai mancanegara itu.
“Kalau
dulu kami yang meminta anak-anak belajar menenun, sekarang tidak perlu diminta,
mereka sudah minta sendiri untuk diajarkan, tak jarang sepulang sekolah mereka
sudah membantu kami menenun,” jelasnya.
Pembinaan
dari pemerintah pun terus berjalan, tiap ada pameran yang diikuti pemerintah
daerah, tenun ikat selalu menjadi menu utama stand Pemkab Sintang karena tenun
ikat sudah menjadi ikon khas kerajinan tangan dari Kabupaten Sintang. Para
penenun sering dibawa tak hanya oleh pemeritah, tapi juga salah satu yayasan
yang selama ini sangat konsen mendampingi masyarakat. Bahkan Salumina Mapung pernah dibawa ke Filipina
untuk studi banding melihat aktivitas menenun masyarakat disana.
Soal
motif tenun, dia menjelaskan sekitar 90 persen masih menggunakan motif lama
karena tiap motif yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka itu ada cerita
yang mengiringinya, misalnya motif Sandung, Ruit Pipit, Perahu, Langgai Wi yang
bercerita mengenai kehidupan sehari-hari. Cerita di balik motif itu bahkan kini sudah
dibukukan oleh salah satu yayasan yang sejak lama membina dan mendampingi para
penenun.
“Motif
baru juga ada tapi kami lebih banyak menggunakan motif lama karena ada nilai
budaya yang melekat pada motif itu,” ujarnya.
Untuk
ukuran kain dia mengatakan ada banyak jenis yang diproduksi warga
diantaranya jenis kumbu yang merupakan ukuran terbesar dengan dimensi 100-120
sentimeter dengan panjang 2 meter, ada kebat, kain gantung, selendang, syal,
jenis pasmina maupun taplak meja.
Sementara, masa menyelesaikan kain tenun ini juga
relatif, tergantung jenis dan ukuran. Seperti jenis kumbu dengan pewarna alami,
dari proses mengikat, mencelup dan menenun bisa menghabiskan waktu sampai satu
bulan. Dalam masa itu juga ada proses penjemuran agar kain yang diproduksi
lebih kuat.
“Waktu yang diperlukan memang relatif, untuk pewarna
alami saja proses mencelup bisa tiga kali atau lebih, kalau pakai pewarna kimia
prosesnya lebih cepat dan warnanya lebih cerah,” jelasnya.
Sementara mengenai harga, juga relatif dan biasanya kain
tenun ikat dengan pewarna alami dan benang hasil pintalan sendiri dari kapas
bisa lebih mahal, meskipun warna kain tidak secerah warna dari pewarna kimia
dan tekstur kain tidak sehalus kain yang ditenun dari benang yang sudah jadi.
“Dahulu benang memintal sendiri, sebelum belajar menenun
harus bisa memintal, warna juga banyak diperoleh dari alam,” kata dia.
Merasakan Manfaat
Peran perempuan dalam menenun ini memang dominan karena
sejak dahulu, pekerjaan halus seperti ini memang lebih banyak ditangani
perempuan. Sementara kaum pria meskipun tidak banyak, juga berperan dalam
memproduksi tenun ikat dan secara kasat mata lebih banyak pria yang membantu
ibu-ibu untuk membuat alat tenun.
Perkembangan tenun ikat ini sedikit banyak sudah membantu
masyarakat Desa Umin Jaya dalam memenuhi kebutuhan hidup warga. Mereka pu
menjadi bersemangat untuk terus menenun, selain aktivitas utama di sektor
pertanian, sepulang dari ladang atau kebun karet, perlengkapan menenun sudah
tersedia dirumah.
“Paling tidak ada aktivitas bermanfaat yang bisa kami
lakukan mengisi waktu luang sepulang dari ladang dan mengurus rumah, tak jarang
kami menenun sampai malam, ketika mulai mengantuk baru kami berkenti,” kata
Anastasia Astuti, salah seorang penenun Desa Umin Jaya.
Dari hasil pertanian dan menenun juga kata dia anak-anak
sudah bisa sekolah tinggi, paling minimal bisa menamatkan Sekolah Menengah Atas
(SMA), bahkan ada yang bisa menyekolahkan anak mereka sampai keluar Pulau
Kalimantan.
“Anak-anak sepulang sekolah juga sering bantu sambil
belajar menenun, suami kami juga makin sayang karena dirumah kami ada aktivitas
yang bisa menghasilkan uang,” ujarnya sembari tersenyum.
Ditambahkan Evipiana Ratnadewi, jika dahulu warga masih
kesulitan untuk menyekolahkan anak maupun berbelanja kebutuhan hidup
sehari-hari karena kurangnya penghasilan, namun sekarang dengan aktivitas
pertanian yang meningkat, kebun karet yang saban hari menghasilkan uang dan
tenun ikat yang sudah sangat dikenal sebagai kerajinan khas Kabupaten Sintang,
warga sudah tidak terlalu susah lagi memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dari
tenun saja bisa lebih dari sejuta rupiah sebulan, bahkan ada suami yang tidak
meminta istrinya membantu diladang lagi karena dari tenun saja hasilnya sudah
lumayan besar,” katanya.
Sementara, Kades Edis Manalang mengatakan total warganya
mencapai 1096 jiwa dengan 218 Kepala Keluarga dan awal tahun 2000 an, tidak
banyak remaja tamatan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Tetapi
sekarang, sebagian besar tamatan SMA sudah melanjutkan sekolah sampai ke
perguruan tinggi baik di Sintang, Pontianak maupun di Pulau Jawa.
“Selain hasil dari pertanian, menenun menjadi sumber mata
pencarian kedua di desa kami,” katanya.
Terus Dikembangkan
Ketua penenun Desa Umin Jaya, Kartiani mengatakan saat
ini ada 147 penenun aktif yang semakin akrab dengan benang, pewarna dan alat
tenun tradisional. Sejumlah kendala memang masih dirasakan oleh para penenun
diantaranya ketersediaan benang dan pewarna alami.
Untuk memenuhi kebutuhan pewarna alami, alam di sekitar
Desa Umin Jaya sudah tidak lagi mampu memenuhinya, padahal kain dengan pewarna
alami bisa memberikan nilai tambah secara ekonomis karena harganya bisa lebih
tinggi dari pewarna kimia.
Untuk mendapatkan warna merah, diperlukan kulit Kayu
Lekar dan akar Mengkudu, kuning didapat dari Kunyit dan hitam dari tanaman
Tarum. Memang menurut Kartiani, sudah ada rencana kedepan untuk membuat kebun
pewarna alami karena semua tanaman itu sangat mudah ditanam dan sangat cocok
dengan kondisi alam di Desa Umin Jaya. “Tapi ini baru rencana,” katanya.
Selain itu kata dia, sebagai bagian dari melestarikan
budaya sekaligus melestarikan lingkungan, pewarna alami juga harus dikenalkan
kepada anak-anak sehingga mereka bisa mengenal berbagai jenis tanaman yang bisa
menjadi pewarna sekaligus juga ikut melestarikan tanaman tersebut karena
berbagai jenis pewarna alami sudah dikenalkan kepada mereka turun temurun sejak
zaman nenek moyang.
Sementara, Evipiana Ratnadewi mengatakan bantuan Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM) ternyata masih belum cocok untuk mendukung aktivitaas
tenun ikat karena kain yang dihasilkan berbeda dengan alat tradisional. “Kalau
pakai ATBM itu malah motifnya lari, tidak sesuai dengan apa yang ingin dibuat,”
ujarnya.
Kalaupun ada bantuan untuk mendorong pengembangan tenun
ikat, mereka lebih berharap bantuan bisa berupa akses yang lebih mudah bagi
para penenun untuk mendapatkan benang dan pewarna sehingga peduksi bisa rutin
dilakukan karena ketika memerlukan benang dan pewarna, selalu tersedia.
Inovasi hasil tenun yang langsung dilakukan di Desa Umin
Jaya memang belum ada, padahal hasil tenun tersebut dapat dikreasikan menjadi
berbagai produk dengan nilai jual yang cukup tinggi seperti baju, tas atau
dompet. Para penenun masih menjual hasil berupa kain dan tentunya inovasi ini
sangat dibutuhkan sehingga nilai tambah dari aktivitas tenun ikat ini bisa
kembali dan dinikmati penenun di Desa Umin Jaya.
“Memang terpikir oleh kami untuk mengkreasikan kain tenun
ikat menjadi produk lain, namun kemampuan kami masih terbatas untuk melakukan
itu,” ujarnya. (*)
Comments