Hutan Desa, Pengakuan Hak Kelola Rakyat

Oleh: Heri Mustari *

Pengelolaan hutan lestari sejak lama telah menjadi isu hangat yang diperbincangkan baik ditingkat nasional maupun internasional. Meningkatnya pemanasan global belakan ini semakin menguatkan upaya pelestarian hutan. Berbagai upaya untuk mencari formulasi pengelolaan dilakukan pemerintah, terbaru adalah mengenai hutan desa.

Sejak negeri ini merdeka, masyarakat belum mendapatkan pengakuan terhadap hak kelola hutan diwilayahnya. Mereka yang tinggal di sekitar hutan hanya jadi penonton yang dikemudian hari menjadi penikmat bencana ekologis yang ditimbulkan. Pernah ada kebijakan untuk memberikan akses kepada masyarakat mengelola hutan, namun alih-alih menyejahterakan masyarakat, kesempatan yang diberikan itu ternyata hanya menguntungkan segelintir orang, bahkan sangat menguntungkan pemilik modal, karena pola

Dalam konteks relasi antara masyarakat dengan hutan untuk pengelolaan sumber daya alam bisa diketahui ada tiga paradigma yang selama ini mendominasi praktek pengelolaan hutan di Indonesia.

Tiga paradigma atau cara pandang pengelolaan hutan tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Paradigma pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan kelestarian (Ecofasis).

Dengan cara pandang seperti ini, pengelolaan hutan lestari masih terjebak pada pemahaman yang sempit tentang pengelolaan hutan dimana masyarakat adalah bagian terpisah dari hutan. Hutan dianggap sebagai kawasan suci yang tidak boleh dijamah masyarakat, walaupun masyarakat tersebut telah ratusan tahun tinggal dikawasan hutan yang dianggap suci. Masyarakat tidak punya hak untuk mengelola sumber daya alam yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka dan bahkan dapat menyejahterakan.

1. Paradigma yang lebih berorientasi pada pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi (Ecodevelopmentalis).

Dengan cara pandang seperti inilah sejak puluhan tahun lalu, pemerintah memberikan hak kelola hutan pada pemodal sehingga yang muncul kemudian adalah praktek eksploitasi yang berdampak pada deforestasi massal terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia. Cara pandang ini juga tidak memberikan dampak pembangunan yang berkelanjutan, masyarakat hanya menjadi penonton di wilayahnya sendiri, bencana alam pun tak terelakkan lagi. Hal ini sangat terlihat pada runtuhnya industri perkayuan yang dahulu dianggap sebagai salah satu penopang pembangunan di Indonesia.

2. Paradigma yang lebih berorientasi pada bagaimana hutan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya bisa diakses masyarakat dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan (ecopopulis).

Pemerintah kemudian mencoba mengambil jalan baru dengan kebijakan hutan desa. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari cara pandang yang ketiga karena memperhatikan deforestasi dan bencana ekologis yang terjadi sementara masyarakat hanya bisa merasakan dampak tanpa bisa mengakses pemanfaatan hutan tersebut.

Kebijakan mengenai hutan desa ini, merupakan perubahan paradigma yang cukup baik dari pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan dalam melihat bagaimana relasi masyarakat dengan hutan dan sumberdaya alam itu. Upaya ini lebih kepada keinginan untuk mendekatkan relasi masyarakat dengan hutan dan sumberdaya alam disekitarnya untuk kesejahteraan, tetapi tidak merubah fungsi dari status hutan itu.

Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa.

Pemberian akses pengelolaan hutan desa lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada 28 Agustus 2008. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

Di Indonesia, sejak kebijakan tersebut diberlakuan, sudah ada satu kawasan hutan desa yang ditetapkan pemerintah yaitu di Desa Lubuk Beringin Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Melihat peluang itu serta arah kebijakan Dephut yang mempermudah proses pengajuan ijin, Lembaga Gemawan kemudian berinisiatif untuk memfasilitasi hutan desa di wilayah Kabupaten Kayong Utara dan ternyata mendapat sambutan baik dari kepala daerah setempat dengan harapan mudah-mudahan di Kayong Utara ini bisa menjadi wilayah berikutnya untuk hutan desa setelah Jambi.

Langkah awal pengelolaan hutan desa di Kayong Utara sudah dimulai Lembaga Gemawan melalui konsolidasi ditingkat kabupaten, kecamatan bahkan hingga tingkat desa. Pertemuan antara masyarakat dengan pemerintah daerah dan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pemberdayaan Masyarakat Direktur Jenderal (Dirjen) RLPS Departemen Kehutanan (Dephut), Robert CD Kaban, salah seorang pejabat Dephut yang gencar menginisiasi dan bahkan merancang hutan desa di Jambi pun telah dilakukan. Tahap selanjutnya yang akan dilaksanakan adalah penguatan kapasitas masyarakat untuk membentuk lembaga desa pengelola hutan desa.

Ternyata, untuk proses pengajuan ijin hutan desa ini tidak terlalu rumit, Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui bupati/walikota. Pihak Dephut akan melakukan verifikasi kelayakan hingga akhirnya dikeluarkan SK pengelolaan hutan desa yang nantinya akan dilaksanakan oleh lembaga hutan desa yang dibentuk masyarakat di desa bersangkutan.

Dari hutan desa ini, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang ada dalam kawasan selain memanfaatkan jasa lingkungan. Namun untuk hutan yang berstatus lindung, masyarakat tidak dapat memanfaatkan kayunya. Untuk pemanfaatan hasil hutan kayu juga tetap mengacu pada aturan yang ada. Masyarakat juga dapat melakukan aktivitas budidaya tanaman atau penangkaran satwa.

Hutan desa ini merupakan sebuah bentuk perubahan tata kelola hutan yang harus segera dilaksanakan untuk kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Perlu juga dipahami bahwa hak pengelolaan yang diberikan ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaannya juga harus memerhatikan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Hutan desa tentunya akan lebih melihat hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya selama ratusan tahun sebagai satu kesatuan yang mampu mewujudkan hutan lestari sebagaimana yang diharapkan. (*beraktivitas di Lembaga Gemawan)

Comments

Indarto said…
Assalamu'alaikum Wr Wb
Salam Sukses bang heri... plus salam kenal juga dr saya...
bang heri kenalkan saya indarto.. kebetulan istri saya asli pontianak bang...
kebetulan saat ini saya bersama tim baru mempelajari tentang potensi di kalbar khususnya di kab. kuburaya...
kalau bang heri berkenan kita bisa tukar pikiran untuk pemberdayaan masyarakat miskin di kalbar... nah kalo bang heri berkenan bisa minta contack abang....
ini Email:salim_arsy@yahoo.co.id // asq_corporate@yahoo.com 081578011300
Sumbung said…
Saya tertarik dgn paragraf 'ternyata tidak rumit.... Dst' kami sedang mengusahakan pengelolahan kawasan hutan oleh masyarakat di sebuah kampung di papua. Nah dalam proses permohonan ijin kelolah ini, DISHUT perannya di mana bro? Kalau hanya memohon ke bupati/gubernur. Thanks. Selamat berjuang