Gizi Buruk, Potret Pembangunan yang Tersisih

Heri Mustari, Sintang

MENGAWALI tahun 2011, Pusat Penatalaksanaan Gizi Buruk (PPGB) Kabupaten Sintang merawat pasien baru, seorang anak berumur 1,8 tahun dengan berat hanya 6 kilogram, padahal seusianya, anak itu seharusnya memiliki berat 12 kilogram.

Adalah Pendi, bungsu dari tujuh bersaudara anak pasangan Separ (32) dan Tengai (30) yang harus menjalani perawatan di tempat khusus perawatan kasus gizi buruk di Sintang yang mulai operasional pada tahun 2001 ini.

Pendi terlihat lemas di ranjang ruang perawatan, bahkan ketika digendong ibunya pun terlihat lunglai, iapun sempat menangis sebentar usai awak media ini mengabadikan gambarnya yang tengah digendong sang ibu.

“Dia ini anak bungsu kami, enam saudaranya yang lain tidak pernah mengalami hal ini makanya ketika ditawarkan untuk dirawat, kami ikut saja,” kata sang ibu yang tinggal di Desa Mandiri Jaya Kecamatan Kelam Permai, desanya masuk wilayah kerja Puskesmas Lebang.

Ia mengatakan, pendapatan suaminya tiap hari hanya berkisar pada angka Rp50 ribu hingga Rp 60 ribu dari aktivitas menoreh.

“Dulu kerja bapaknya ini nyenso (menebang kayu), tapi sekarang kayu sudah susah sehingga akhirnya noreh karet,” ujar ibu yang sudah punya cucu dari anak pertama dan keduanya ini.

Kepala PPGB, Adi Sulistyanto mengatakan pasien itu mulai menjalani perawatan di PPGB pada Rabu (5/1) lalu.

“Berat terakhir ketika masuk adalah enam kilogram, semestinya dengan usia tersebut, beratnya paling tidak 12 kilogram dan anak ini juga sudah masuk stadium 4,” kata Adi.

Balita ini memang punya riwayat sakit dari kecil, apalagi hingga saat ini anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi yang sudah diselenggarakan dengan gratis oleh pemerintah daerah.

“Memang rata-rata pasien gizi buruk yang kami rawat disini tidak pernah mendapatkan imunisasi, padahal hingga umur sembilan bulan, imunisasi itu wajib,” jelasnya.

Peran imunisasi menurutnya sangat penting untuk membentuk kekebalan tubuh pada bayi agar mudah terhindar dari berbagai penyakit karena hingga usia sembilan bulan, bayi belum bisa memproduksi sendiri kekebalan tubuhnya.

“Kalau sudah tidak diimunisasi, maka akan rentan penyakit dan kemudian bayi jadi kurang makan,” jelasnya.

Ia menjelaskan, tiga tahun terakhir, angka balita gizi kurang memang mengalami penurunan, namun angka kasus gizi buruk bertambah. Penanganan khusus diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas gizi penderita.

“Meningkatnya angka kasus gizi buruk ini bukan karena program yang gagal, tetapi lebih kepada kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan kerja dari petugas di puskesmas untuk menginventarisasi kasus gizi buruk di kabupaten ini,” ucapnya.

Jumlab balita di Sintang hingga tahun 2010 mencapai 11.558 dengan rincian laki-laki 5721 dan perempuan 5837 balita. Angka gizi buruk di Sintang tahun 2010 diketahui ada 310 kasus atau 2,6 persen dari total balita dengan jumlah penderita laki-laki 158 dan perempuan 152.

Selain itu, untuk balita yang mengalami gizi kurang semuanya berjumlah 2401 atau 20.77 persen darijumlah balita, dengan rincian laki-laki 1174 dan perempuan 1227 orang.

Kasus gizi buruk yang terungkap pada 2008 mencapai 313 dan meningkat menjadi 434 kasus pada 2009.

“Yang mendapatkan perawatan di PPGB pada 2008 ada 25 kasus dan meningkat menjadi 35 kasus pada 2009 dan menurun menjadi 26 kasus pada tahun 2010.

“Sebenranya kita bisa melihat dari data tersebut, petugas kesehatan hingga tingkat paling bawah sudah baik melacak kasus gizi buruk sehingga banyak yang dirawat,” jelasnya.

Ia mengatakan dari laporan petugas kesehatan di Puskesmas Lebang, sebenarnya ada tiga penderita gizi buruk yang seharusnya mendapatkan perawatan.

“Tapi baru satu ini yangmau dirawat, dan kebanyakan terhadap penderita gizi buruk ini rata-rata enggan dirawat,” ujarnya.

Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi kasus gizi buruk diantaranya adalah memberikan standar pelayanan kesehatan yang prima bagi masyarakat, melaksanakan revitalisasi posyandu. “Kita juga dapat program perbaikan gizi masyarakat melalui program Nutrition Improvement Thought Community Empowerment (NICE) dengan harapan program itu bisa kurangi persentase gizi kurang dan gizi buruk di Sintang,” jelasnya.

Ia mengatakan, pemerintah kabupaten juga sudah memberikan perhatian lebih untuk penanganan kasus gizi buruk ini dengan mengalokasikan anggaran perawatan untuk beberapa puluh orang dalam setahun.

“Tahun ini kita dialokasikan untuk 20 orang dan jika pasien membludak, maka bisa diusulkan masuk dalam anggaran perubahan,” tukasnya.

Mengapa puskesmas yang sudah menyelenggarakan rawat inap tidak difungsikan untuk tangan kasus gizi buruk?, ia menjelaskan pada 2005 dan 2006 sudah pernah di coba namun gagal karena dalam menangani gizi buruk ini butuh komitmen yang tinggi. “Sementara di sisi lain, sumber daya manusia yang menangani kasus ini juga harus profesional, karena penanganan gizi buruk ini khusus dan harus fokus,” ucapnya.

Menurutnya, dalam penanganan kasus gizi buruk di PPGB Sintang, biaya ditanggung sepenuhnya pemerintah alias gratis. Semula hanya penderita dan ibu yang menunggui anaknya yang gratis.

“Pertimbangan kemanusiaan, misalnya penderita ini punya adik yang tidak bisa ditinggal ibunya sehingga harus ikut, atau bawa anggota keluarga lainnya, mau tidak mau mereka juga ditanggung kebutuhan makannya selama penderita menjalani perawatan,” jelasnya.

Yang jadi persoalan kata dia adalah penangan pasca perawatan karena sebenarnya pasien sangat butuh pendampingan.

“Kendala kita pada lokasi yang terkadang jauh dan tenaga kesehatan yang minim,” jelasnya.

Namun menurutnya, pemantauan status gizi buruk masyarakat telah rutin dilakukan oleh puskesmas, selain itu juga oleh fasilitator masyarakat (FM) dalam program NICE.

“Puskesmas sampaikan laporan status gizi, sedangkan datadari FM adalah data pembanding karena fungsi FM melakukan pengecekan langsung dilapangan,” ujarnya.

Sejak 2001, PPGB telah merawat lebih dari 200 anak gizi buruk dengan tingkat keberhasilan 100 persen terutama bagi yang bersedia dirawat penuh. Sebagian dari keluarga pasien enggan dirawat penuh dan mengambil keputusan pulang paksa dengan alasan tidak bisa lama meninggalkan tempat tinggal mereka. “Setelah dilacak hampir semua pasien yang pulang paksa dengan kondisi tertentu meninggal dirumah masing-masing,” ucapnya.

Untuk tahun 2010 ini dari 26 yang dirawat, tidak ada yang meninggal, tetapi pada tahun 2009 dari 35 orang dirawat, ada lima yang meninggal dunia.

Sangat ironis memang, disaat pemerintah menyediakan pelayanan gratis yang bermutu, tetapi masyarakat enggan memanfaatkan dengan maksimal.

Pendi adalah potret keluarga yang mulai menyadari pentingnya mengatasi gizi buruk yang dialami keluarga mereka, ia juga adalah potret bahwa hingga saat ini Kabupaten Sintang masih belum terbebas dari gizi buruk. (*)

Comments