Menuju Pilwako Pontianak (3)

Politisasi Etnis, Bukan Zamannya Lagi

Jangan pilih kucing dalam karung. Itulah filosofi sederhana yang sarat pesan. Artinya etnis A jangan memilih calon dari etnis A atau etnis mana pun jangan pilih calon pemimpin dari golongan etnis mereka sendiri jika etnis masih dijadikan jualan politik. Idealnya untuk Kota Pontianak dengan tingkat melek politik yang cukup tinggi, bisa lebih objektif dalam menentukan pemimpin yang membawa gerbong Kota Pontianak lima tahun ke depan.

Konsepsi tentang socio-demokrasi, proses bargaining (tawar-menawar) secara politis yang didasarkan pada etnis tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk kekuasaan yang akhirnya tidak memihak rakyat. Pembelaan masyarakat terhadap calon pemimpin dengan memunculkan rasa kesukuan justru tidak membantu masyarakat sama sekali. Bahkan sebaliknya akan merepotkan masyarakat itu sendiri. “Banyak juga pemimpin yang berasal dari etnis tertentu malahan membuat jengkel dan kesal etnis yang bersangkutan,” ujar aktivis Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya Mandiri (Gemawan), Ireng Maulana, kemarin.

Melihat wacana yang berkembang menjelang pelaksanaan Pilwako Pontianak, tentu tak akan terlepas dari persoalan tersebut. Padahal kalau mau jujur, meragukan politisasi etnis dalam jabatan politis dijadikan solusi tawar-menawar untuk mengurangi akselerator konflik. “Seakan muncul dominasi kekerasan oleh sekelompok masyarakat karena ketidakpuasan elit politik dalam pembagian kekuasaan,” kata Ireng, sapaan akrabnya.

Persoalan seperti itu, terus menjadi santapan publik sehari-hari baik dalam perbincangan tingkat elit hingga warung kopi yang merupakan bagian dari komunitas kecil masyarakat yang sedikit tercerahkan. Sehingga menentukan Melayu-Dayak, Melayu-Tionghoa atau Dayak-Tionghoa adalah pilihan. “Yang perlu dipertanyakan adalah apakah duet seperti itu adalah benar kehendak rakyat, atau sekadar hitungan-hitungan politik untuk spekulasi dukungan,” tukasnya.

Untuk Pilwako Pontianak, dalam merebut kekuasaan tidak harus dengan dagangan etnis semata. Memunculkan pilihan pengganti seperti pria-wanita, pengusaha-agamawan, politisi-akademisi, teknokrat-birokrat, ilmuan-budayawan, tua-muda dan lainnya adalah sebuah transformasi perilaku yang dapat dijadikan pilihan para elit.

“Berawal dari konsepsi tadi maka akan memberikan nilai tersendiri bagi calon pemimpin karena suasana pertarungan politik dibangun atas dasar penilaian kapasitas dan kinerja,” tandasnya.

Dikatakan Ireng, pilihan yang diberikan oleh rakyat tidak atas dasar sentimen dan diskriminasi simbol semata sudah bukan saatnya lagi walaupun kondisi itu yang sekarang terjadi. Tetapi dukungan yang diberikan karena kemunculan sosok calon pemimpin yang dapat diterima oleh etnis mana pun disebabkan oleh keandalan, kapasitas, pola kepemimpinan dan komitmennya untuk memikirkan kesejahteraan rakyat. “Dan bukan karena identitas etnis yang melekat pada dirinya. Kalau tetap dipertahankan seperti ini, kapan kita akan berubah dan maju,” cetusnya.

Dalam sebuah proses demokrasi, lanjut Ireng, transformasi nilai terhadap peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat di bidang politik menjadi mutlak. Kedaulatan rakyat terhadap politiknya jangan dimandulkan dengan fanatisme kesukuan yang sempit.

“Penentuan pilihan rakyat bukan kepada identitas suku yang melekat kepada seorang calon pemimpin tetapi kepada kecerdasan politik rakyat untuk menentukan sendiri pilihan politiknya yang didasarkan pada perubahan kehidupan. Tentunya pilihan itu didasarkan atas keberpihakan calon pada masyarakat dan didukung kinerja serta moralitas yang baik,” terangnya.

Dalam sebuah proses politik kekinian, menurutnya, sudah saatnya para elit meninggalkan kemasan politik simbol, terutama etnis. Karena jika tetap dipertahankan akan menjadi tidak menarik lagi ketika masyarakat yang lambat-laun makin berkembang baik keinginan maupun pola pikirnya. “Propaganda politik melalui etnis lambat laun akan ditinggalkan. Apalagi tingkat mobilitas masyarakat kota Pontianak cukup tinggi baik dari penyerapan informasi maupun perkembangan teknologi,” jelasnya.

Secara proporsional, kata dia, lambat-laun masyarakat akan menekankan komitmen calon pemimpin untuk memberikan yang terbaik kepada rakyat sehingga calon pemimpin tersebut secara terus menerus berupaya dengan cara menunjukkan prestasi, reputasi yang baik, kinerja dan komitmennya untuk membela dan berpihak kepada keadilan untuk rakyat. “Dalam konsepsi socio-demokrasi, calon pemimpin pilihan rakyat bukan karena identitas etnis melainkan keterampilan untuk menyelenggarakan keberesan ekonomi dan politik dalam sebuah sistem pemerintahan yang baik,” pungkasnya. (heri mustari/bersambung)

Comments