Potret Kemiskinan Kalbar (3)

Kebijakan Belum Berpihak ke Desa

Fakta menunjukkan, mayoritas penduduk negeri ini berada di desa. Namun, desa tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Saatnya pembangunan meniru cara memakan bubur panas, mulai memakannya secara perlahan dari pinggir.

Namun kalau kita mau jujur, melihat realitas masyarakat desa baik dari sisi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang ada di desa membuat kita terhenyak, apa yang dicita-citakan tentang desa yang otonom dan mandiri masih jauh dari harapan.

Badan Pekerja Otonomi Desa Lembaga Gemawan, Ireng Maulana mengatakan jika ingin melihat banyak anak-anak yang putus sekolah, ada di desa, kalau ingin melihat gizi buruk dan perempuan yang menerima ketidakadilan (kultural-struktural), tentu sebagian besar ada di desa.

“Ingin melihat jalan-jalan yang rusak, jalan setapak dari tanah yang kalau hujan licinnya minta ampun, para pekerja migran yang mendapat masalah di luar negeri, sebagian besar adalah warga desa. Semuanya dengan mudah akan kita dapatkan di desa berikut kondisi-kondisi memprihatinkan lainnya,” kata Ireng.

Sebagai sebuah entitas sosial politik, lanjut Ireng, keberadaan desa lebih dulu dibanding munculnya kota atau bahkan sebuah negara. Namun, meskipun dengan usia keberadaan yang sudah tua ini justru tidak membuat perubahan kehidupan di desa menjadi lebih baik. “Tapi semakin membebani desa oleh berbagai kekuatan di atasnya,” jelas dia.

Otonomi Daerah yang digulirkan sejak reformasi, melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian berganti menjadi UU 32/2004 tentang pemerintah daerah diharapkan mampu menjadi jalan untuk demokratisasi.

Harapan itu dalam hal peningkatan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan dan implementasi keputusan, serta kebijakan di daerah. Sehingga terwujudya local good governance dengan ciri-ciri pemerintah yang bersih, efisien, transparan, akuntabel dan berpihak pada yang miskin.

Selain itu, diharapkan mampu menjadi sarana pemberdayaan dan pendidikan masyarakat untuk dirinya sendiri agar menjadi masyarakat yang otonom secara politik dan mandiri secara ekonomi. “Otda seharusnya menjadi kewenangan daerah untuk mendorong kemandirian sosial kemasyarakatan di tingkat desa sebagai pelaksana utama atau otonomi desa. Pemerintah harus menyadari inti otonomi daerah adalah desa,” ungkapnya.

Kemiskinan, kata Ireng telah membatasi hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan, akses atas kebutuhan pendidikan, rasa aman, memperoleh perlindungan hukum, akses atas kebutuhan hidup yang terjangkau, akses atas kebutuhan kesehatan, keadilan, untuk berinovasi, menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan, dan untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan.

“Kemiskinan membuat arus urbanisasi ke kota meningkat dan telah membuat masyarakat desa rela mengorbankan apa saja untuk kelangsungan hidup. Cucuran keringat masyarakat desa diperas untuk memproduksi keuntungan bagi rentenir dan pemenuhan kebutuhan industri di perkotaan dengan nilai upah yang tak sepadan,” tukasnya.

Menurut Ireng, beberapa pendekatan telah dilakukan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan, baik itu melalui pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan kemampuan dasar dan pendekatan pendapatan. “Namun dari pendekatan yang dilakukan terputus pada tingkat pelaksanaan yang banyak menyimpang. Terbukti beberapa program pemerintah yang dirancang baik banyak, ternyata gagal saat dilaksanakan,” ujarnya.

Penanggulangan kemiskinan masyarakat desa memerlukan formula tepat diantaranya melalui pengembangan pola pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berpihak pada orang miskin. Cara ini sekaligus untuk menghilangkan pameo bahwa orang miskin dilarang sekolah atau orang miskin dilarang sakit.

Di samping itu, kata Ireng, harus ada dorongan investasi bidang pertanian di desa, distribusi lahan dan modal berimbang. “Kebijakan investasi pun harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat setempat karena selama ini yang terjadi adalah masyarakat desa hanya jadi penonton,” ungkapnya.

Alih teknologi dan informasi juga harus sampai hingga tingkat desa seperti informasi teknologi pertanian maupun informasi soal kebijakan pemerintah. Selama ini, akses informasi cukup tertutup untuk masyarakat desa.

Agenda pembangunan daerah juga mestinya lebih diorientasikan kepada berbagai program pengentasan kemiskinan di desa sesuai bidang masing-masing atau lintas sektoral. “Harus ada penguatan organisasi sosial di desa, kelompok ekonomi serta penguatan pelaksanaan otonomi desa,” terangnya.

Para pengambil kebijakan di daerah mestinya memandang masyarakat miskin di desa bukan hanya memerlukan sumber materi karena selama ini mereka mampu memenuhi hal itu. Mereka telah kreatif dalam mengatasi kekurangan materi. Kebijakan otonomi desa adalah ruang bagi masyarakat desa untuk lebih berpartisipasi dalam meningkatkan taraf hidup.

“Untuk melaksanakan semua program pengentasan kemiskinan di desa, butuh komitmen dan kerja keras semua elemen pengambil kebijakan. Jangan lagi desa hanya dijadikan komoditas kepentingan sesaat. Saya lihat beberapa kabupaten sudah mulai ke arah itu walaupun belum maksimal,” ujar Ireng. (heri mustari/bersambung)

Comments