Potret Kemiskinan Kalbar (2)

Jalan Panjang Meraih MDGs

Perkembangan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) merupakan hal baru di Indonesia. Sebagai sebuah bentuk orientasi pembangunan, MDGs dalam tataran implementasi harus ditempatkan sebagai sebuah paradigma dalam upaya pemenuhan hak dasar warga negara. Tanpa standar pemenuhan hak-hak dasar, kemiskinan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Sebagaimana kesepakatan yang turut ditandatangani Indonesia tahun 2000 bersama 188 negara lainnya, MDGs menjadi semangat dalam menghapus diskriminasi terhadap pengakuan hak warga negara sebagai subyek pembangunan.

Dalam pembangunan, pemerintah lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai objek, sehingga masyarakat diposisikan sebagai lapisan yang merasakan dampak pembangunan bukan pihak yang juga menentukan ke mana pembangunan ini akan diarahkan.

Program Coordinator Advocacy Jaringan Independen Masyarakat Sipil Untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat, Indra Aminullah mengatakan rencana pembangunan yang disusun pemerintah harus didasarkan pada angka statistik BPS dan Human Development Indeks (HDI). “Sedangkan MDGs lebih menekankan pada beberapa capaian indikator yang lebih spesifik,” jelasnya.

Indra memaparkan potret buram pencapaian MDGs Kalbar 2007 diantaranya penanggulangan kemiskinan. Menurutnya, tahun 2007, persentase penduduk miskin Kalbar mencapai 15,50 persen sesuai angka dari BPS, dengan jumlah pengangguran 8,57 persen. Sedangkan capaian target kemiskinan aspek MDGs hingga 2015 adalah 12,25 persen. Indikator kemiskinan ini didasarkan sesuai dengan target yang disepakati dalam MDGs yaitu pendapatan satu dollar per orang per hari.

“Hal ini menunjukkan penanggulangan kemiskinan di Kalbar masih panjang. Jika mengacu pada standar MDGs yaitu satu dollar per orang per hari, maka angka kemiskinan Kalbar mencapai 28 persen dengan segmentasi miskin, mendekati miskin dan sangat miskin,” paparnya.

Sementara, lanjut dia, untuk menekan proporsi jumlah penduduk yang menderita kelaparan atau kekurangan gizi, APBD Kalbar hanya manganggarkan 1,64 persen dari total APBD atau senilai Rp 4.158 per orang per tahun. Angka ini jauh dari standar yang sudah ditetapkan badan kesehatan dunia (WHO) yaitu Rp 285.000 per orang per tahun.

“Persentase balita yang mengalami kekurangan gizi juga menunjukkan angka yang riskan, yaitu 32,71 persen, jauh dari rata-rata nasional 28,05 persen atau angka rata-rata setiap provinsi yaitu 27,9 persen,” bebernya.

Selain itu, lanjut dia, hal yang berkaitan dengan kemiskinan dapat dilihat dari pendidikan dasar. Secara umum, indikator Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI menunjukkan perkembangan signifikan dengan pencapaian angka 93,8persen. Meskipun demikian, angka ini masih berada di bawah standar nasional yaitu 94 persen. Demikian juga APM SLTP/MTs, baru menunjukkan angka 60,9 persen.

“Artinya hampir 40 persen anak usia sekolah SLTP/MTs tidak bersekolah. Di dalam APBD, pemerintah hanya menganggarkan anggaran sejumlah 13,02 persen dari total APBD, itupun sudah termasuk alokasi untuk gaji guru dan pendidikan kedinasan,” tukasnya.

Indikator lain yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Untuk Kalbar ditunjukkan oleh indikator rasio APM murid perempuan terhadap laki-laki SD/MI dan SLTP/MTs. Rasio APM perempuan terhadap laki-laki SD/MI yaitu 100,6 dan berada diatas angka nasional yang besarnya 99,4 persen. Sementara rasio APM perempuan terhadap laki-laki SLTP/MTs mencapai 99,1 persen.

Angka ini, berada di bawah angka nasional yang mencapai 100 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan dasar di Kalbar telah menunjukkan perkembangan yang sangat baik untuk tingkat SD/MI, tetapi belum tampak dalam pendidikan setingkat SLTP/MTs.

“Selain itu, kesetaraan gender juga dapat ditunjukkan melalui indikator rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki dimana rasio tersebut yaitu mencapai 80,5. Dalam APBD, program yang mendukung target ini hanya di alokasikan 0,01 persen dari total APBD,” ungkap Indra.

Hal lainnya, soal angka kematian anak. Target ini ditunjukkan melalui Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA). Di Kalbar, angka AKB mencapai 470/10.000 kelahiran hidup. Sementara AKBA tercatat 370/10.000 kelahiran hidup. Angka yang cukup tinggi jika dibandingkan target nasional. “Di dalam APBD, anggaran yang disediakan oleh pemerintah Kalbar untuk menurunkan angka kematian bayi hanya berkisar 2,72 persen,” kata Indra.

Upaya lainnya dapat dilihat dari peningkatan kesehatan ibu. Setiap tahun, 18.000 perempuan Indonesia meninggal akibat persalinan. Data sementara rasio ibu yang meninggal karena persalinan di Kalbar mencapai 420/1000 kehamilan.

Dari data yang ditemukan, cakupan gizi untuk menunjang kesehatan ibu sangat minim dibuktikan dengan anggaran yang dialokasikan hanya 2,70 persen. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Kalbar belum memberikan respon terhadap pencapaian MDGs untuk target ini,” tukasnya.

Selain itu indikator pencapaian MDGs dapat dilihat dari upaya memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Untuk Kalbar, jumlah kasus AIDS cukup tinggi yaitu mencapai 553 orang, sementara malaria sebanyak 990 kejadian. Sedangkan anggaran yang dialokasikan hanya berkisar sejumlah 2,45 persen dari total APBD.

Penilaian lain dijelaskan Indra yaitu soal memastikan kelestarian lingkungan hidup. Terkait dengan masalah kesehatan lingkungan, rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non perpipaan terlindungi di provinsi ini mencapai 55 persen. Persentase tersebut berada di bawah angka nasional yaitu 57,2 persen.

“Kecilnya peningkatan akses terhadap air minum non perpipaan terlindungi dalam kurun waktu tersebut menandai stagnasi pada kebiasaan rumah tangga terhadap penggunaan air bersih karena akses yang sulit,” jelasnya.

Berdasarkan penafsiran dari pencitraan Satelit Landsat ETM 7+, luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalbar sampai 2005 mencapai 8,943 juta hektar. Dari luasan tersebut 5.665 juta hektar merupakan hutan dan 3,257 juta hektar adalah non hutan. Sekitar 20 ribu hektar sisanya tidak terdata. “Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rasio luas daratan peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah,” terang Indra.

Dikatakan Indra, Kalbar merupakan daerah yang mempunyai status ketahanan pangan yang terjamin di tingkat wilayah, tetapi proporsi rumah tangga rawan pangan berkisar 22 hingga 30 persen. “Hal inilah yang patut dicermati bahwa ketersediaan pangan dalam suatu daerah bukanlah jaminan penduduknya bebas dari kemiskinan. Rawan pangan dan kekurangan gizi di Kalbar juga menjadi fakta,” ungkapnya. (heri mustari/bersambung)

Comments