Pelayanan Dasar Jadi Poin Penting APBD

*Menuju MDGs
Pontianak, Equator
Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kalbar 2008 mestinya harus memerhatikan kebutuhan dasar rakyat. Standar pembuatan anggaran haruslah didasarkan pada kesepakatan bersama untuk tujuan pembangunan milenium atau dikenal dengan sebutan MDGs (Millenium Development Goals).
Demikian dikatakan Indra Aminullah—Ketua Divisi Advokasi Jaringan Independen Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan (JARI) Indonesia Orwil Borneo Barat. “Tahun 2000 lalu, Indonesia bersama 188 negara lain ikut menandatangani kesepakatan tersebut,” jelasnya.
Menurut Indra—sapaan akrab Indra Aminullah, ada beberapa item yang disepakati dalam MDGs, di antaranya adalah menghapuskan kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memastikan kelestarian lingkungan hidup, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. ”Atas penandatanganan kesepakatan tersebut, maka target MDGs menjadi tolak ukur dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia,” terangnya.
Dijelaskan Indra, sapaan akrabnya, pada dasarnya hampir setiap tahun, Kebijakan Umum Anggaran (KUA) selalu ditekankan untuk mencapai target pembangunan antara lain, meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi. Menurunnya angka kemiskinan, menurunnya angka pengangguran, meningkatnya angka Human Development Index (HDI), peningkatan jalan-jalan nasional yang strategis, tersedianya air baku bagi penyediaan air bersih di Kalbar dan meningkatnya pelayanan air bersih bagi kabupaten/kota dan kecamatan yang strategis.
Ditambahkannya, jumlah penduduk miskin di Kalbar, pada dasarnya masih berada di atas provinsi Kalimantan yang lain yaitu sekitar 18,51 persen. ”Namun HDI Kalbar masih jauh di bawah provinsi lainnya sekitar 64,3. Kondisi itu menjadikannya sebagai provinsi yang dinobatkan pada urutan ke-26,” paparnya.
Pertanyaan besarnya dikatakan Indra adalah sejauh mana Pemprov Kalbar menjadikan target MDGs sebagai mainstream dalam proses pengangguran. Atau setidaknya telah menjalankan program-program yang secara langsung bersentuhan dengan target MDGs. ”Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka terlebih dulu kita harus melihat bahwa dokumen anggaran adalah dokumen ekonomi sekaligus dokumen politik. Setidaknya pandangan kita tertuju pada tiga fungsi anggaran yakni perencanaan, alokasi distribusi anggaran,” tandasnya..
Lebih lanjut dikatakannya, dalam perencanaan anggaran, tampak bahwa paradigma dasar perencanaan anggaran masih bertumpu pada pendekatan ekonometrik. Padahal rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, secara jelas dicantumkan bahwa pendekatan pembangunan adalah menggunakan right base approach. Di mana ukuran-ukuran pembangunan tidak semata bertumpu pada hitungan-hitungan ekonometrik belaka. Namun, menggunakan pendekatan kualitatif. Kerangka partisipasi masyarakat terhadap dokumen pembangunan menjadi mutlak di dalamnya dalam menentukan arah yang tercermin dalam dokumen pembangunan berupa APBD. “Hakekatnya pendekatan ini menempatkan kerangka pemahaman, negara wajib memenuhi serta memberikan perlindungan hak warga negaranya. Dengan kata lain, kendati hanya satu orang warga negara yang terlanggar haknya, maka negara wajib memberikan perlindungan,” tukasnya.
Dari dokumen-dokumen pembangunan yang ada, lanjut dia, realitas perencanaan pembangunan oleh pemerintah, akan tampak proses perencanaan masih terlalu dominan menempatkan masyarakat sebagai objek. Bukan subjek. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penegasian hak warga negara dalam menentukan politik atau arah pembangunan. “Khususnya kelompok masyarakat marjinal dan perempuan. Karena mereka adalah kelompok yang miskin akses. Baik akses terhadap kekuatan politik maupun akses terhadap kekuatan ekonomi,” tuturnya.
Dikatakanya, pada tahapan proses perencanaan, katakanlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), lebih banyak menjadikan HDI sebagai dasar dalam penyusunannya. Sehinga perspektifnya bukan right base approach yang didahulukan melainkan angka total dalam HDI—kalau tidak dikatakan kuantitatif. Bukti lainnya, RPJMD lebih banyak menggunakan angka statistik yang diberikan Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal, angka statistik yang diberikan BPS belum menunjukkan kondisi sebenarnya. “Sedangkan, MDGs menekankan positioning pada beberapa indikator lapangan yang lebih spesifik. Contoh, perempuan, lingkungan dan lain-lain. Dalam konteks penganggaran, APBD provinsi hanya bersifat fasilitatif bagi anggaran kabupaten/kota. Sedangkan anggaran kabupaten/kota bersifat stimulan,” tukasnya.
Sementara, salah seorang aktivis pemuda, Dede Slamet SH mengatakan APBD harus pro rakyat. Karena selama ini, anggaran yang dibuat pemerintah masih jauh dari hal-hal pemenuhan hak dasar rakyat. “Pemenuhan hak-hak dasar rakyat dalam APBD sangat perlu. Karena, selama ini rakyat yang selalu dijadikan objek pembangunan. Mereka sendiri belum merasakan sepenuhnya manfaat pembangunan oleh pemerintah,” jelasnya.
Dikatakan Dede, sapaan akrabnya, pemenuhan hak dasar rakyat adalah merupakan sebuah kewajiban pemerintah. “Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhi hak rakyat, karena selama ini rakyatlah yang jadi penyumbang terbesar pembangunan. Konkretnya, dari pajak yang tiap hari dipungut negara,” terangnya.
Menurutnya, perencanaan APBD harus memenuhi hak dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan. Termasuk anggaran untuk kelompok marginal seperti perempuan, anak-anak, manula dan orang cacat. “Selama ini bisa kita lihat berapa besar anggaran untuk beberapa kebutuhan dasar rakyat yang dialokasikan pemerintahan. Ini tentunya harus diperhatikan semua pihak,” papar mantan sekjen Solmadapar ini.
Menurutnya, dalam merencanakan sebuah program, eksekutif dan legislatif harus benar-benar paham dengan kebutuhan masyarakat di tingkat bawah. Apalagi selama ini program-program yang disusun dari bawah melalui musyawarah rencana pembangunan di tingkat desa terkadang hanya dokumen sampah. “Program yang dibuat masih didasarkan pada keinginan oknum-oknum penguasa untuk keuntungan dari program tersebut,” terangnya.
Ia mengatakan kebijakan pemerintah daerah dalam pengadaan fasilitas untuk tugas-tugas operasional eksekutif dan legislatif menjadi menarik untuk disimak dan dikaji. Hal itu sangat mendesak dan dibutuhkan. “Mana yang penting, kebutuhan rakyat atau kebutuhan operasional pejabat. Tentunya kebutuhan rakyatlah yang harus jadi prioritas,” tandasnya.
Aktivis mahasiswa, Bima A Haris mengatakan pembahasan anggaran mestinya dijadikan awal bagi pemerintah dan masyarakat bersinergi dalam merencanakan pembangunan. Perlu adanya keterbukaan pemerintah terkait penyusunan anggaran. “Anggaran harus berbasis rakyat, bukan kepentingan terutama bagi-bagi kue untuk kelompok tertentu yang menjadi bagian dari penguasa,” terang mantan wakil ketua BEM Untan itu.
Penyusunan anggaran realitasnya lebih berpihak pada ambisi individu atau kelompok tertentu dari penguasa, selain mencerminkan ketidakpekaan terhadap kondisi dan nasib rakyat. Indikasi lain, terjadinya kebohongan publik. “Rakyat yang telah melakukan kewajibannya sebagai pembayar pajak dan retribusi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, semestinya mendapatkan kompensasi yang seimbang dalam proses pemanfaatan APBD setiap tahunnya. Bukan dengan pembengkakan anggaran untuk operasional birokrasi,” tandasnya.
Eksekutif dan legislatif, kata dia, perlu memiliki pola pikir yang cerdas dan kreatif dalam membangun birokrasi yang pro-rakyat. Terutama pro pada kemiskinan yang diderita rakyat. “Mesti diingat bahwa perilaku dan pola kebijakan yang menyakiti hati rakyat bahkan terkesan membodohi adalah sebuah kesalahan yang akan dituai pemerintah melalui kecaman rakyat. Sehingga program cerdas yang jelas kontribusinya sangat ditunggu,” tukasnya. (her)

Comments