Potret APBD Kabupaten Pontianak Tahun 2007 (3)

Lebih Capacity Building Pegawai, Pendidikan Kecil

DALAM penelitian yang dilakukan JARI Orwil Borneo Barat, dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD) jadi acuan utama analisa anggaran sehingga dapat diketahui besaran anggaran berbasis HAM.
Dalam rangka memenuhi hak dasar warga Kabupaten Pontianak di bidang pendidikan, Hasan Basri sebagai peneliti mengatakan pemerintah Kabupaten Pontianak mengalokasikan anggaran sebesar Rp 209,78 miliar dari jumlah total APBD Kabupaten Pontianak tahun 2007 yang sebesar Rp 612,87 miliar (sebelum terjadi perubahan). Tetapi, dari total anggaran tersebut, anggaran belanja langsung untuk publik hanya Rp 40,702 miliar atau sekitar 6,64 persen.
“Ironisnya, anggaran belanja langsung yang sangat minim tersebut tidak diprioritaskan untuk program pengentasan angka putus sekolah dan buta huruf yang sangat besar jumlahnya, tetapi lebih banyak terpakai untuk perjalanan dinas dan capacity building pegawai,” ujarnya.
Menurut Hasan, anggaran pendidikan di tahun 2007 bisa dikatakan tidak berpihak kepada masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah tidak cukup anggaran belanja untuk pegawai atau anggaran tidak langsung sebesar Rp 169.07 miliar atau sekitar 27,5 persen dari total APBD 2007. “Apabila anggaran pendidikan selalu lebih besar untuk pegawai, kapan akses pendidikan akan bisa diterima warga miskin secara merata,” jelasnya.
Dikatakan Hasan, dari beberapa dokumen yang berhubungan dengan pembangunan di bidang pendidikan seperti dokumen APBD 2007, dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak 2007, dokumen profil pendidikan Kabupaten Pontianak 2007, dokumen rencana strategis Kabupaten Pontianak, dokumen rencana kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak tahun 2007, maka dapat disimpulkan, bahwa, target pemerintah daerah dalam pemenuhan hak dasar atas pendidikan khususnya dalam hal penuntasan wajib belajar sembilan tahun yang ditujukan untuk mengurangi angka putus sekolah, sesuai yang tertuang dalam Rencana Kerja Dinas Pendidikan tidak sesuai dengan realisasi anggaran, target pemerintah daerah dalam pemberantasan buta huruf yang tertuang dalam rencana kerja tidak sesuai rengan realisasi anggaran.
“Di sisi lain dari sekian banyak dokumen perencanaan pembangunan bidang pendidikan antara satu dengan yang lainnya masih banyak program yang tidak berjalan kongruen. Hal ini terlihat dalam rencana strategis lima tahunan dan rencana kerja Diknas satu tahun, khususnya dalam hal penuntasan wajib belajar,” bebernya.
Dengan demikian, lanjut Hasan, dapat dikatakan bahwa antara kondisi eksisting dan target yang tertuang dalam dokumen perencanaan dengan realisasi anggaran tidak konsisten. Kesimpulan tersebut berdasarkan beberapa indikator, yakni putus sekolah dan angka buta huruf.
***
Hasan memaparkan, angka putus sekolah SD/MI sebanyak 218 jiwa dan SLTP/MTs sebanyak 69 jiwa di tahun 2006 sedangkan target capaian tahun 2007 adalah penekanan angka putus sekolah masing-masing satu kelompok. Jika diasumsikan satu kelompok terdiri dari 30 orang maka pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk mengurangi angka putus sekolah sebanyak 10 kelompok, karena total angka putus sekolah SD/SLTP adalah 287 jiwa.
“Tetapi, pemerintah pada tahun 2007 hanya mengurangi jumlah putus sekolah 2 kelompok untuk SD/SLTP, atau hanya sejumlah 60 orang dan masih ada 227 jiwa lagi. Belum ditambah dengan angka putus sekolah sebelum tahun 2006/2007. Sangat disayangkan untuk mengurangi angka putus sekolah, jumlah anggaran tidak tercantum, sehingga sulit diprediksi berapa jumlah anggaran untuk satu anak pertahun yang bisa melanjutkan sekolah,” terangnya.
Hasan kemudian menerangkan beberapa asumsi penyebab putus sekolah dilihat dari keberadaan fasilitas penunjang pendidikan, yaitu pertama, letak sekolah jauh atau tidak ada atau tidak terjangkau. Jumlah SD/SLTP excisting yaitu sejumlah 666 bangunan. Jika pemerintah menekan angka putus sekolah untuk 287 siswa maka pemerintah harus membangun sekolah baru SD/SLTP sebanyak 10 sekolah dengan mengasumsikan satu sekolah menerima 30 siswa. ”Sedangkan pada tahun 2007, program pembangunan sekolah baru hanya dua unit dengan anggaran sebesar Rp 430 juta dengan target 80 persen,” tukasnya.
Kemudian yang kedua, ruang kelas banyak yang rusak atau kurang. Jumlah kelas SD/SLTP excisting pada tahun 2006 adalah sebanyak 4.394 ruang dengan ruang yang pada kondisi baik sejumlah 2011 lokal selebihnya dalam kondisi rusak ringan dan berat. Untuk menekan angka putus sekolah maka pemerintah harus menambah ruang kelas sejumlah 10 buah di tahun 2007 dengan mengasumsikan 1 kelas menampung 30 siswa. Artinya di tahun 2007 pemerintah harus menambah 10 ruang kelas baru dan rehabilitasi 2.394 ruang kelas yang rusak.
”Sementara di tahun 2007 pemerintah kabupaten Pontianak hanya melakukan rehabilitasi ruang kelas sebanyak 78 unit tanpa transparansi berapa anggaran yang dipakai program ini. Sementara kebutuhan untuk merehab ruang kelas seharusnya berjumlah 2.394 lokal. Di tahun ini juga tidak ada anggaran yang tercantum untuk pembangunan ruang kelas baru,” jelasnya.
Sedangkan yang ketiga adalah tenaga pengajar kurang. Jika mengasumsikan 1 guru mewadahi 30 orang maka pemerintah di tahun 2007 harus menambah total tenaga pengajar SD/SLTP sejumlah 10 guru dan meningkatkan kelayakan tenaga pengajar sejumlah 3.909 guru. Untuk tenaga pengajar, anggaran yang dikeluarkan pemerintah terinci, yaitu total tenaga pengajar yang terbackup untuk peningkatan kelayakan mengajar dari program pemerintah adalah sejumlah 1.038 guru. ”Sedangkan kebutuhan untuk peningkatan kelayakan mengajar ditahun 2007 adalah 3.909 guru ditambah penambahan guru sebanyak 10 orang yang tidak dianggarkan,” paparnya.

***
Untuk persoalan buta aksara, Hasan mengatakan dari jumlah angka buta huruf sebesar 18.843 jiwa atau sekitar 4,42 persen pada tahun 2006, pemerintah Kabupaten Pontianak di tahun 2007 hanya menargetkan pengentasan buta aksara sejumlah 320 jiwa atau sekitar 0,08 persen. Total belanja untuk pengentasan buta aksara yaitu Rp 202,8 juta, jika dibagi dengan 320 orang maka masing-masing orang dihargai Rp 633.750. “Bagaimana dengan 18.523 jiwa yang lain,” tanya Hasan.
Hasil penelitian Hasan kemudian menemukan beberapa asumsi penyebab meningkatnya angka buta huruf dilihat dari keberadaan fasilitas penunjang pendidikan, yaitu sekolah jauh. Menurutnya, peningkatan angka melek huruf menjadi 0,08 persen adalah sejumlah 320 orang dari 426.342 jiwa. Artinya peningkatan jumlah angka melek huruf adalah sejumlah 320 orang. “Untuk menambah jumlah tersebut pemerintah seharusnya memberikan pemenuhan hak dasar bidang pendidikan pada jumlah tersebut. Jika masalah tersebut terselesaikan dengan membangun sekolah maka perlu dibangun 11 buah SD dengan kapasitas satu SD menerima 30 siswa,” bebernya.
Selain itu menurut Hasan adalah kekurangan ruang kelas. Jika satu kelas menaungi 30 siswa maka diperlukan ruang sebanyak 11 ruangan untuk ditambah. Kemudian juga adalah kekurangan tenaga pengajar. ”Asumsi ini akan terjawab jika satu guru menangani 25 siswa maka diperlukan tenaga pengajar sejumlah 13 orang,” terangnya.
Lebih lanjut dikatakan Hasan, untuk menyelesaikan kasus ini, pemerintah perlu menganggarkan pembangunan SD sebanyak 11 buah atau pembangunan ruang kelas sebanyak 11 lokal serta penambahan jumlah guru sebanyak 13 tenaga pengajar. ”Sedangkan di dalam DPA tidak ditemukan program penambahan tenaga pengajar. Pembangunan sekolah hanya dua unit sedangkan penambahan ruang kelas tidak ada,” tukasnya.

***
Dikatakannya, jika pembangunan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi solusi, maka PKBM harus terdiri dari ruang kelas sejumlah 11 lokal dan 13 tenaga pengajar. Diasumsikan honor tenaga pengajar Rp 670.000 sesuai standar UMR Kabupaten Pontianak, maka total belanja honor tenaga pengajar sebulan yaitu Rp. 8,71 juta. ”Dibandingkan dengan hasil riset nasional tentang pendidikan yang mengatakan bahwa setiap tahunnya kebutuhan anak sekolah sekitar Rp 1,9 juta pertahun tahun, maka setiap bulannya siswa tersebut mendapatkan sekitar Rp 158 ribu. Anggaran yang disediakan untuk memberantas buta huruf sangat jauh dari kebutuhan standar,” tandasnya.
Menurutnya, penyebab angka buta huruf dan putus sekolah selain asumsi yang telah dibeberkan sebelumnya, juga disebabkan perekonomian masyarakat yang masiih di bawah rata-rata. Biaya pendidikan semakin mahal, sedangkan pendapatan keluarga semakin berkurang apalagi di tengah krisis ekonomi ini. ”Banyak juga anak yang putus sekolah karena harus membantu orang tua mencari nafkah, sehingga budaya cukup pandai membaca dan menulis juga semakin berkembang,” jelasnya.
Budaya ‘cukup pandai baca tulis’ bukan kemauan para orang tua. Mereka sebenarnya menginginkan anak mereka sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, membuat para orang tua hanya bisa mengubur mimpi anaknya. ”Pemerintah seharusnya dalam mengalokasikan anggaran untuk menekan angka putus sekolah dan buta huruf harus melihat aspek sosio ekonomi warga,” terangnya.
Untuk mengurangi beban orang tua, lanjut Hasan, Pemkab Pontianak sudah membebaskan SPP untuk tingkat sekolah menengah ke atas dengan program BOS Daerah berupa beasiswa sebesar Rp 30 ribu persiswa. Tiap sekolah akan menerima bantuan sesuai dengan jumlah siswa di masing-masing sekolah. ”Namun, dampak negatif dari pembebasan SPP tersebut berimbas pada meningkatnya pembayaran biaya sekolah yang lain, seperti biaya seragam, biaya buku, dan sumbangan yang diduga liar lainnya,” ujarnya.
Niat baik pemerintah menurutnya tidak sejalan dengan fakta dilapangan. Masih banyak pihak sekolah yang memungut biaya SPP dari para siswa. ”Alasan pihak sekolah karena anggaran untuk pengganti SPP (BOS Daerah) sampai bulan September 2007 masih belum bisa dicairkan oleh pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Pontianak,” pungkasnya. (heri mustari/bersambung)

Comments