Parcel, Dijerat Delik Gratifikasi

Parcel, Pejabat Harus Patuhi Larangan KPK
*Dijerat Delik Gratifikasi

Wajar karena konsekuensi kebijakan, para kepala daerah perlu menindaklanjuti. Bisakah terlaksana?

Pontianak, Equator
Larangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar pejabat tidak menerima parcel (bingkisan) saat lebaran ditanggapi beragama berbagai kalangan. Ada yang mendukung, juga ada yang menolak dengan dalih parcel bagian dari tradisi.
Anggota DPRD Kalbar, Hadlir Noor menegaskan dirinya mendukung larangan KPK tersebut dalam upaya memberantas korupsi yang harus dimulai dari hal terkecil. “Larangan itu sudah jelas karena masuk dalam salah satu unsur gratifikasi sebagaimana disebutkan undang-undang korupsi,” kata Hadlir, Minggu (23/9).
Walaupun hanya parcel, menurut Hadlir, cara-cara masa lalu mesti dihentikan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih walaupun satu sisi bisa mematikan sektor riil terutama para pengusaha parcel. “Itu harus dimaknai sebagai konsekuensi sebuah kebijakan,” ungkap anggota Komisi B DPRD Kalbar ini.
Untuk menunjukkan niat baik terhadap larangan tersebut, ditambahkan Hadlir, mestinya pemerintah daerah bisa mengeluarkan imbauan serupa yang ditujukan kepada seluruh jajaran pemerintah di Kalbar. “Itu juga political will dari pemerintah daerah terhadap larangan pemerintah dan menunjukkan pemerintah welcome terhadap pemberantasan korupsi,” terangnya.
Dihubungi terpisah, anggota badan pekerja LSM Kontak Rakyat Borneo, Salman mengatakan dengan keluar edaran berisi larangan KPK itu mestinya disambut oleh kepala daerah. Caranya, dengan mengeluarkan edaran serupa pada semua bawahannya. “Itu lebih baik karena kembali menegaskan apa yang telah diserukan KPK, sekaligus menunjukkan niat baik kepala daerah dalam memberantas korupsi,” kata Salman.
Ia menegaskan larangan KPK itu memiliki dasar yang sifatnya mengikat pada semua warga negara, terutama pejabat negara. Wajarlah jika pejabat negara menaati. KPK tentu menilai pejabat negara sudah banyak mendapatkan fasilitas negara, sehingga jika ada pemberian sekecil apapun tentunya tak akan terlepas dari jabatannya. “Memang seperti itulah tugas KPK, apalagi pemberian kepada pejabat sekecil apapun bisa masuk delik gratifikasi,” ujarnya.
Dijelaskan Salman, Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, pasal 12 b ayat 1, menjelaskan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
“Yang masuk dalam gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik,” jelasnya seraya mengatakan sanksi tegas diatur dalam pasal 12 b ayat 2 yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara dalam pasal 12 c ayat 1 ditegaskan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 b ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. “Hal ini sesuai larangan KPK terhadap parcel dan mereka masih memberi waktu kepada penerima parcel untuk melaporkannya. Sekarang tinggal tekad pejabat yang bersangkutan, apakah bersedia melaporkan parcel yang diterimanya itu,” ungkapnya.
Lebih lanjut Salman menerangkan ketentuan tentang gratifikasi bagi pemberi berdasarkan UU 31/1999 juncto UU 20/2001 pada pasal 13 adalah setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp 150 juta.
Penerapan pasal gratifikasi dalam UU tersebut seperti larangan parcel dari KPK perlu dilakukan agar kebiasaan menerima sesuatu pemberian/hadiah berkaitan jabatan seorang pejabat negara dapat dihindari. “Ini pelajaran bagi kita sehingga tidak ada alasan lagi untuk menolak larangan KPK tersebut,” tukasnya.
Berdasarkan data KPK, jumlah laporan gratifikasi secara keseluruhan tahun 2006 sebanyak 326 laporan. Untuk tahun 2007 sampai akhir semester I sebanyak 64 laporan. Nilai pelaporan yang diproses pada tahun 2007 senilai Rp 7.105.808.015, dengan rincian: ditetapkan menjadi milik Negara Rp 1.380.743.709, ditetapkan menjadi milik penerima Rp 2.815.686.806, dan masih dalam proses Rp 2.909.377.500.
Diberitakan sebelumnya, KPK mengeluarkan siaran pers, Selasa (18/9) lalu. Isinya, larangan pejabat atau penyelenggara negara menerima parcel menjelang Idul Fitri tahun ini. Bagi yang telanjur menerima diwajibkan melapor ke KPK. Bahkan KPK menyarankan dana-dana tersebut sebaiknya disalurkan kepada rakyat miskin, korban bencana alam dan pihak-pihak yang lebih membutuhkan bantuan baik dalam bentuk kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya seperti pendidikan atau kesehatan sebagai bentuk kesetiakawanan sosial.
Pelarangan ini ditanggapi pesimis lantaran sifatnya hanya menunggu laporan. Kecuali jika KPK membentuk tim khusus yang turun ke setiap daerah. Kalaupun berhasil, maka diprediksi sedikit saja pejabat yang bersedia melaporkan dan menolak parcel.
“Kami tetap melaksanakan imbauan KPK tersebut yang melarang pejabat menerima parcel. Namun bukan jaminan bagi para pejabat Kalbar tidak menerima parcel. Itu berkaitan dengan hak orang,” kata Sekda Kalbar, Drs Syakirman, Jumat (21/9) lalu.
Mantan aktivis mahasiswa, Dede Slamet SH menilai larangan itu terkesan seremonial belaka. Mestinya, ada semacam sanksi tegas yang bukan hanya menakuti-nakuti pejabat dikaitkan dengan delik gratifikasi. “Harus ada tim khusus yang dibentuk hingga ke daerah untuk mengawasi agar larangan tersebut bisa berjalan,” ujarnya. (her)

Comments